Pemudakatolik.or.id, Jakarta – Akhir Desember 2023 lalu, situs web dan aplikasi Kompas.id diserang peretas. Banyak pembaca yang mengeluhkan sulitnya mengakses konten berita langganan dari kanal tersebut.
“Saat ini, laman dan aplikasi Kompas.id sedang mengalami gangguan. Ini terjadi setelah kami mempublikasikan seri liputan investigasi judi online,” demikian penjelasan Kompas.id.
Investigasi yang berjudul ‘Judi Online Mengepung Indonesia dari Kamboja’ itu diyakini telah menyentil pemilik situs judi online. Sebab, situs-situs judi online di Kamboja dioperasikan oleh WNI, baik sebagai pekerja maupun pemodal.
Dampak dari liputan investigasi di atas hanya salah satu contoh kasus dari banyaknya ancaman yang diterima media saat merilis karya liputan mendalam atau in-depth reporting.
Oleh sebab itu, pemerintah sudah seharusnya memberikan perhatian yang lebih kepada industri media di Tanah Air. Seperti saat ini, isu RUU Penyiaran yang dinilai banyak pihak akan mengebiri keleluasan pers dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.
Menanggapi kondisi tersebut, sebagai Organisasi Kepemudaan yang kini genap berusia 78 tahun, Pemuda Katolik menilai substansi yang hendak diatur dalam regulasi ini dikhawatirkan dapat mengganggu mekanisme jurnalisme yang sudah berjalan baik sejauh ini.
Ketua Umum PP Pemuda Katolik Stefanus Gusma berpendapat bahwa proses kerja penyusunan RUU ini harus partisipatif dan deliberatif, utamanya melibatkan insan pers.
“Semestinya proses perumusan regulasi ini melibatkan banyak pihak dan adaptif terhadap beragam perspektif, sebab substansi yang kini beredar di publik relatif memuat pengaturan yang destruktif,” jelas Gusma.
Diketahui, Dewan Pers hingga komunitas-komunitas pers seperti AJI, PWI, AMSI dan IJTI satu suara menolak RUU Penyiaran yang dinilai akan mengancam kebebasan pers hingga ruang digital.
Gusma berpendapat bahwasannya negara tidak boleh terlalu mengatur bahkan melarang genre jurnalisme yang kini berkembang apalagi ada sensor atas jurnalisme dan ekspresi publik. “Negara tidak perlu melarang genre jurnalistik apapun, misalnya jurnalisme investigatif yang diperbincangkan orang banyak. Berbagai produk jurnalistik seperti jurnalisme investigasi yang dihadirkan insan pers adalah bukti demokrasi Indonesia semakin maju dan matang. Banyak contoh jurnalistik investigasi berhasil mengubah keadaan menjadi lebih baik,” ujar Gusma.
Selain membatasi liputan investigasi, poin RUU Penyiaran yang disorot ialah peralihan penanganan permasalahan jurnalisitk yang sebelumnya ditangani Dewan Pers diberikan kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
“Bagaimanapun juga, selama ini pihak yang punya kuasa atas karya jurnalistik di Indonesia adalah Dewan Pers dan kinerja mereka sejauh ini sangat optimal dengan konstruksi kelembagaan dan kewenangan yang ada,” tegas Gusma.
Lebih lanjut Gusma menilai proses politik RUU Penyiaran oleh DPR menggambarkan indikasi jelas terkait upaya parlemen untuk mengekang media. Parlemen sebagai wakil rakyat semestinya tidak mengekang jurnalisme melalui substansi yang ada dalam RUU.
“Jangan lupa, berkat kerja keras pers, kerja-kerja baik parlemen juga dapat diketahui publik. Skandal yang merugikan anggaran negara pun dapat diketahui publik sehingga bisa menjadi pembelajaran bersama. Pers adalah bagian dari rakyat, yang berhak menjalankan fungsi check and balance,” sambungnya.
Untuk itu, Gusma berharap penataan kewenangan dalam RUU ini tidak menimbulkan tumpang tindih antar lembaga. Dibutuhkan keterlibatan banyak lembaga dalam memproses RUU tersebut.
“Konstruksi tata kelola pers Indonesia harus dibangun dalam pola kerja kolaboratif, partisipatif, transparan, dan akuntabel. Pers sebagai pilar keempat demokrasi harus tetap kuat dan independen, namun bebas dari pengaruh dan kepentingan kelompok tertentu,” tuntas Dia.