Pemudakatolik.or.id, Majelis Rakyat Papua Papua Barat Daya (MRP-PBD) telah memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap lima (5) Bakal Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Papua Barat Daya.
Dari hasil verifikasi faktual yang dilakukan oleh MRP-PBD, menetapkan 4 Bakal Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Papua Barat Daya telah memenuhi syarat sebagai orang asli Papua (OAP) dari garis keturunan laki-laki atau patrilineal. Sedangkan 1 Bakal Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Papua Barat Daya atas nama Abdul Faris Umlati dan Petrus Kasihiw tidak memenuhi syarat sebagai orang asli Papua (OAP), dari garis keturunan patrilineal.
Hal ini dilakukan sebagai wujud aksi afirmatif yang bertujuan melindungi hak politik OAP dalam Pilkada 2024 di Provinsi Papua Barat Daya.
Setelah mencermati dinamika dan masukan dari kader Pemuda Katolik yang menjadi anggota MRP, dan aspirasi warga, Ketua Umum PP Pemuda Katolik Stefanus Gusma menyampaikan pentingnya pertimbangan MRP untuk ditindaklanjuti lebih jauh.
“Suara MRP perlu didengar, sebab hal ini adalah bentuk perlindungan terhadap hak politik OAP yang dijamin dalam UU No. 2 Tahun 2021. Kekhususan mekanisme politik di Papua wajib untuk dihormati dan dilaksanakan sebagai wujud kepatuhan terhadap Undang-Undang yang berlaku”, jelas Gusma.
Gusma menilai bahwa dinamika ini bukan sekedar isu politik semata, lebih dari itu, ada perlindungan hak dan mekanisme politik lokal yang perlu ditegakkan. “Kewenangan MRP yang diatur dalam UU Otsus merupakan bentuk pengakuan eksistensial terhadap hak-hak adat dan budaya OAP. Perlu digarisbawahi bahwa kasus ini bukan soal politik semata, jangan sampai ini mengeliminir hak politik yang sudah disepakati bersama dalam UU”, ungkap Gusma.
Terakhir, Gusma mendorong semua pihak untuk mendorong penghormatan terhadap kekhususan ini dengan menjaga kondusifitas. “Harapannya, kita semua tetap bisa menjaga kondusifitas dan stabilitas politik. Rekomendasi MRP patut untuk dihormati, sebab keberadaan MRP memiliki fungsi dan tupoksi krusial untuk melindungi hak konstitusional OAP”, pungkas Gusma.
“Suara MRP perlu didengar, sebab hal ini adalah bentuk perlindungan terhadap hak politik OAP yang dijamin dalam UU No. 2 Tahun 2021. Kekhususan mekanisme politik di Papua wajib untuk dihormati dan dilaksanakan sebagai wujud kepatuhan terhadap Undang-Undang yang berlaku”, jelas Gusma.
Gusma menilai bahwa dinamika ini bukan sekedar isu OAP dan non OAP semata, lebih dari itu, ada perlindungan hak dan mekanisme politik lokal yang perlu ditegakkan. “Kewenangan MRP yang diatur dalam UU Otsus merupakan bentuk pengakuan eksistensial terhadap hak-hak adat dan budaya OAP. Oleh sebab itu, hal ini perlu ditegakkan agar hak dan kekhususan Papua tidak pudar dan tenggelam dalam riuh demokrasi lokal”, ungkap Gusma.
Terakhir, Gusma mendorong semua pihak untuk mendorong penghormatan terhadap kekhususan ini dengan menjaga kondusifitas. “Harapannya, kita semua tetap bisa menjaga kondusifitas dan stabilitas politik. Rekomendasi MRP patut untuk dihormati, sebab keberadaan MRP memiliki fungsi dan tupoksi krusial untuk melindungi hak konstitusional OAP”, pungkas Gusma.