Monday, November 25, 2024

Diperlukan Suara Masyarakat untuk Tentukan Penetapan Pemekaran di Papua

Must Read

Masih terdapat sikap pro dan kontra terkait rencana pemerintah pusat memekarkan enam provinsi di tanah Papua. Diperlukan dialog dengan masyarakat setempat sebelum penetapan kebijakan tersebut.

JAYAPURA, KOMPAS — Diperlukan dialog bersama antara masyarakat dan pemerintah pusat terkait rencana pemekaran enam provinsi di Papua dan Papua Barat. Sebab, masih terjadi perbedaan pendapat di tengah masyarakat untuk pelaksanaan kebijakan tersebut.

Demikian benang merah dalam webinar yang diselenggarakan oleh Pengurus Pusat Pemuda Katolik, Selasa (22/2/2022). Webinar mengangkat tema bertajuk ”Pemekaran DOB di Papua, Solusi atau Sumber Masalah Baru”.

Narasumber dalam webinar ini adalah Pastor Hans Jeharut, perwakilan dari Konferensi Waligereja Indonesia; Wakil Bupati Asmat Thomas Safanpo; anggota DPRP Papua John Gobay; Melkior Sitokdana selaku Ketua Departemen Gugus Tugas Papua Pengurus Pusat Pemuda Katolik; dan Pastor Alexandro Rangga selaku perwakilan Sekretariat Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan Fransiskan Papua.

Hans sebagai pembicara pertama dalam webinar ini mengatakan, Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) belum mengeluarkan sikap terkait kebijakan pemerintah untuk pemekaran daerah otonom baru, baik di Papua maupun di seluruh wilayah Indonesia.

Sebab, KWI menghargai setiap keuskupan memiliki hak otonomi untuk menentukan sikap terkait kebijakan tersebut.

Suasana rapat dengar pendapat umum Komisi II DPR dengan sejumlah pihak terkait pemekaran daerah otonomi baru di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (12/11/2019). Dalam audiensi tersebut, Komisi II menerima aspirasi terkait pemekaran daerah otonomi baru, yaitu Kabupaten Bogoga dan Provinsi Papua Tengah serta tentang partai lokal Papua.

Hans berpendapat, setiap kebijakan pemerintah, khususnya bagi masyarakat Papua, harus mengutamakan salus populi suprema lex atau keselamatan rakyat merupakan hukum yang tertinggi. Pemekaran diharapkan bermanfaat bagi masyarakat Papua dan bukanlah kepentingan pemerintah pusat, partai politik, dan pemilik modal.

Ia pun meminta pemerintah pusat tidak tergesa-gesa menetapkan daerah otonom baru di Papua dan Papua Barat karena berpotensi terjadi konflik yang besar. Diperlukan dialog antara pusat dan masyarakat, juga keterlibatan lembaga lainnya, seperti gereja Katolik.

”Diperlukan evaluasi yang menyeluruh tentang pendekatan pemerintah selama ini di Papua. Masih terdapat catatan pelanggaran hak asasi manusia dan sejumlah masalah lain yang harus dituntaskan,” kata Hans.

Suara lembaga

Alexandro mengatakan, rencana penetapan daerah otonom baru di Papua tanpa melibatkan suara dari lembaga representasi masyarakat, yakni DPRP dan Majelis Rakyat Papua. Terindikasi adanya unsur pemaksaan untuk penetapan daerah otonom baru di tanah Papua.

Seorang ibu sedang menyusui anaknya di perkampungan yang dihuni oleh warga Asmat di daerah Paumako, Mimika, Papua, akhir Juni lalu. Warga Asmat yang telah terbiasa tinggal di tepi pantai atau sungai, ketika merantau ke daerah Mimika pun tetap mendirikan rumah yang tak berbeda kondisinya dengan rumah di kampung halaman mereka, yaitu di daerah rawa.

Ia mengungkapkan, terdapat banyak masalah pelayanan dasar bagi masyarakat yang tidak berjalan dengan baik di daerah yang sebelumnya dimekarkan dari kabupaten induk di Papua. Misalnya, masalah gizi buruk yang menimpa anak-anak di Kabupaten Asmat pada 2018.

”Kami melihat penetapan daerah otonom baru hanya bermotif penguasaan sumber daya alam Papua. Lahirnya daerah otonom baru menyebabkan orang asli akan semakin terpinggirkan karena terjadi transmigrasi penduduk dari luar daerah yang masif,” ungkap Alexandro.

Rohaniwan ini menilai, pemekaran bukanlah solusi untuk menyejahterakan masyarakat Papua. ”Marilah pemerintah duduk bersama dan berdiskusi dengan masyarakat setempat. Sebab, pelayanan publik belum dirasakan sepenuhnya oleh masyarakat hingga kini,” katanya.

John Gobay selaku anggota DPRP Papua mengatakan, seharusnya pelaksanaan pemekaran daerah otonom baru mengacu pada Pasal 76 Undang-Undang Otonomi Khusus Nomor 2 Tahun 2021. Ayat 1 dari Pasal 76 berbunyi, ”Pemekaran daerah provinsi dan kabupaten/kota menjadi provinsi-provinsi dan kabupaten/kota dapat dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP.”

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi Papua, John Gobay

 

 

 

 

 

 

Marilah pemerintah duduk bersama dan berdiskusi dengan masyarakat setempat. Sebab, pelayanan publik belum dirasakan sepenuhnya oleh masyarakat hingga kini. (Alexandro Rangga)

Thomas yang juga Wakil Bupati Asmat berpendapat, pemekaran merupakan solusi terbaik untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua. Sebab, pemerintah daerah selama ini terkendala memberikan pelayanan dasar karena kondisi geografis Papua yang sangat sulit dan luasnya mencapai dua kali Pulau Jawa.

Ia menuturkan, selama ini Pemprov Papua memiliki rentang kendali yang sangat luas sehingga menyebabkan pelayanan dasar tidak optimal. Papua telah mendapatkan anggaran Otsus dan infrastruktur senilai Rp 97 triliun, tetapi berdampak sangat kecil bagi masyarakat.

”Saya bersama kepala daerah di Merauke, Mappi, dan Boven Digoel telah menyetujui pemekaran Provinsi Papua Selatan. Pemekaran adalah opsi terbaik percepatan pembangunan Papua,” ujarnya.

Ketua Umum Pengurus Pusat Pemuda Katolik Stefanus Gusma berharap dalam webinar ini akan tercapai sebuah kesimpulan terkait penyebab sikap oro dan kontra tentang pemekaran daerah otonom baru di Papua.

Sumber: Kompas.com

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

spot_img
Latest News

Pemuda Katolik dan KPU Jabar Gelar Diseminasi Kebijakan Data dan Informasi

Pemudakatolik.or.id, Kabupaten Bogor – Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Jawa Barat bersama Pemuda Katolik Jawa Barat sukses menggelar acara...
spot_img

More Articles Like This