Medan – Pemuda Katolik menyesali peristiwa kerusuhan di Tanjung Balai, Sumatera Utara pada Jumat, 29 Juli 2016 yang menyebabkan sejumlah vihara dan klenteng dibakar.
“Kami menyesalkan insiden tersebut karena menodai kerukunan dan persatuan,” tegas Ketua Umum Pengurus Pusat Pemuda Katolik, Karolin Margret Natasa, Sabtu, 30 Juli, sebagaimana dilansir Jpnn.com.
Menurut Karolin, apabila semua pihak mengedepankan musyawarah dan semangat kebersamaan maka sesungguhnya insiden tersebut tidak akan terjadi.
Karena itu, anggota DPR RI dari PDIP Perjuangan ini mengimbau semua pihak untuk selalu mengedepan musyawarah dan kebersamaan dalam semangat nilai-nilai Pancasila.
Untuk mencegah terulangnya insiden tersebut, Karolin mengingatkan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) di setiap tingkatan untuk lebih berperan aktif membangun komunikasi dan hubungan yang harmonis antarumat beragama.
“Forum komunikasi umat beragama harus diefektifkan agar secara dini bisa mendeteksi dan mencegah terjadinya insiden serupa,” tegas Karolin.
Karolin menegaskan agar semua pihak, yakni pemerintah pusat, jajaran pemerintah daerah, tokoh masyarakat dan tokoh agama untuk aktif mencegah dan terus membangun kehidupan masyarakat yang rukun dan damai.
“Potensi (konflik, red) harus dicegah agar percikannya tidak meluas yang dapat mengangggu kebersaman dan persatuan sebagai bangsa,” kata Karolin.
Sebagaimana dilaporkan BBC Indonesia, insiden pembakaran sejumlah vihara dan klenteng mulai meletus Jumat menjelang tengah malam, sekitar pukul 23.00.
“Ada enam vihara dan kelenteng yang diserang beberapa ratus warga. Namun kebanyakan, pembakarannya dilakukan pada alat-alat persembahyangan, dan bangunannya sendiri tidak terbakar habis,” kata juru bicara Kepolisian Daerah Sumatera Utara, Kombes Rina Sari Ginting kepada BBC Indonesia.
Ia menambahkan, amukan orang-orang yang sebagian adalah anak muda itu berlangsung beberapa jam, dan mulai membubarkan diri sekitar pukul 04.30.
“Namun bakar-bakarannya sendiri, tak berlangsung lama, karena yang dibakar adalah barang-barang persembahyangan. Misalnya dupa, gaharu, lilin, minyak dan kertas, patung Budha, gong dan perabotan seperti meja, kursi, lampu, lampion. Bangunan-bangunannya sendiri, terbakar sedikit.”
Ketegangan dilaporkan bermula saat menjelang shalat Isya, Meliana, seorang perempuan Tionghoa berusia 41 tahun meminta agar pengurus Masjid Al Maksum di lingkungannya mengecilkan volume pengeras suaranya.
Sesudah shalat Isya, sekitar pukul 20.00 sejumlah jemaah dan pengurus mesjid mendatangi rumah Meliana. Lalu atas prakarsa Kepala Lingkungan, Meliana dan suaminya dibahwa ke kantor lurah.
Namun suasana mulai memanas. Karena itu, Meliana dan suaminya kemudian ‘diamankan’ ke Polsek Tanjung Balai Selatan.
“Di kantor Polsek lalu dilakukan pembicaraan yang melibatkan Camat, Kepala Lingkungan, tokoh masyarakat, Ketua MUI, dan Ketua FPI setempat,” kata Rina Ginting.
Ia mengaku belum tahu, mengapa FPI dilibatkan. “Tapi di luar, massa mulai banyak berkumpul, dengan banyak mahasiswa, mereka melakukan pula orasi-orasi. Tapi kami bisa menghimbah mereka dan mereka pun membubarkan diri.’
Namun katanya, dua jam kemudian massa berkumpul lagi, kemungkinan akibat pesan di media sosial.
Mereka lalu mendatangi rumah Meliana dan bermaksud membakarnya namun dicegah oleh warga sekitar.
Sesudah itu, kata dia, massa yang semakin banyak dan semakin panas bergerak menuju Vihara Juanda yang berjarak sekitar 500 meter dan berupaya utk membakarnya tapi dihadang oleh para petugas Polres Tanjung Balai. Massa yang marah lalu melempar vihara itu dengan batu.
“Lalu massa bergerak ke tempat lain, yang ternyata melakukan pembakaran di beberapa vihara dan kelenteng, yang jaraknya berdekatan,” papar Rina Ginting.
Ia membantah bahwa polisi melakukan pembiaran saat peristiwa itu terjadi.