Kutacane – Kabupaten Aceh Tenggara merupakan salah satu dari 23 Kabupaten/Kota di Provinsi Aceh. Kabupaten yang dipimpin oleh H. Hasanuddin Beruh dan Ali Basrah sangat majemuk, terdiri beragam agama, suku, dan ras. Namun, di daerah ini tidak pernah terdengar kerusuhan atau konflik yang berbau SARA. Tentu hal ini patut diapresiasi dan dapat menjadi contoh bagi realisasi toleransi khusus di daerah-daerah yang majemuk.
Wakil Bupati Aceh Tenggara Ali Basrah mengungkapkan salah satu kunci terciptanya toleransi dan kurukunan di tengah masyarakat adalah komitmen pemimpinnya. Menurut Ali, maju-mundurnya, rukun-tidaknya, sejahtera-tidaknya suatu daerah sangat ditentukan oleh pemimpinnya.
“Saya dan Hasanuddin Beruh sudah berkomitmen menjamin toleransi dan kerukunan di Aceh Tenggara. Jangan sampai ada rakyat kami, siapapun dia tidak dilindungi hak-hak dasarnya, misalnya kebebasan untuk beribadah,” ujar Ali di acara seminar Pemuda Katolik yang bertajuk “Kebersamaan dalam Keberagaman” di Balai Diklat BKPP Kutacane, Aceh Tenggara, Sabtu (23/1).
Acara ini dihadiri oleh Ketua Umum Pemuda Katolik Karolin Margret Natasa, Vikaris Jenderal Keuskupan Agung Medan Elias Semangat Sembiring, OFM, Cap, sejumlah anggota DPRD Faisal (Partai Aceh), Bustami (PDIP), Nazaruddin (PDIP), Roy Tarigan (Demokrat), Syamsiar (Golkar) dan Ketua DPC PDIP Aceh Tenggara Kasiman serta Ketua Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Aceh Tenggara Deni Febrian Rosa.
Komitmen Pemda Aceh Tenggara, kata Ali, tidak sebatas wacana dan normatif. Tetapi hal tersebut sudah pada sampai tataran aplikasi, kerja dan karya. Komitmen tersebut sudah terealisasi dalam kebijakan dan program-program Pemda Aceh Tenggara.
“Memang di sini diberlakukan Syarat Islam, tetapi itu hanya berlaku bagi umat muslim sementara yang lain menghargai. Kami di sini (Aceh Tenggara), hidup aman, damai dan tenteram. Malahan dengan Syarat Islam, kami justru hidup damai dan aman,” ujar dia.
Dia mengakui Aceh Tenggara, masyarakatnya sangat majemuk. Dari sekitar 220.000 jumlah penduduk yang tersebar di 385 desa, suku terbesar adalah Alas (47 persen), Tapanuli (27 persen), Gayo (15 persen) serta sisanya suku-suku lain seperti Batak, Karo, Minangkabau, Singkil, Aceh, Batak Mandailing, Jawa, Sunda, Nias, Melayu, dan Tionghoa-Indonesia.
“Begitu juga dengan agama, Islam merupakan agama mayoritas, disusul Kristen Protestan dan Kristen Katolik. Suku dan agama kami warna-warni, tetapi kami damai. Ibaratnya kami Taman Mini Indonesia di Aceh,” ungkap Ali.
Dia juga memastikan pemda tidak berlaku diskriminasi dengan kelompok manapun. Dia mencontohkan setiap merayakan Idul Fitri, pemda membagikan sirup kepada setiap umat muslim di Aceh Tenggara, siapapun dia, tanpa memperhatikan latar belakangnya.
“Hal yang sama juga berlaku untuk umat Kristen Protestan dan Katolik yang diberikan susu dan gula pada saat umatnya merayakan Natal dan Tahun Baru. Jumlahnya sama persis saat pemda membagikan sirup bagi umat Muslim,” papar dia.
Hal senada, lanjut dia terjadi juga di dunia pendidikan di Aceh Tenggara. Pemda, ungkap akan memberikan dukungan berupa beasiswa kepada siswa SMA ataupun SMP dan SD yang berprestasi, tanpa mempertimbangkan latar belakangnya, suku atau agamanya. Asal dia berprestasi, maka pemda akan mendukungnya. Begitu juga dengan guru, diusahakan setiap sekolah ada guru yang mewakili agama tertentu sehingga siswanya bisa dibina.
“Jangan sampai di sekolah ada pelajaran terkait Islam, lalu siswa non-muslim bebas atau tidak ada kelas. Padahal, mereka juga perlu dibina sesuai dengan agamanya, maka kita dorong ada gurunya,” jelas Ali.
Lebih lanjut, dia mengatakan poin penting menjaga toleransi adalah saling menghargai dan tidak saling mengganggu saat yang lain beribadah. Dasar-dasar bernegara dan berbangsa kita sebagaimana tertera dalam Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI harus dihidupkan dan ditanamkan terus-menerus. Jika ada isu yang berusaha memecah belah, maka segara dipotong.
“Ketika terjadi kasus Tolikara, Papua dan kasus Aceh Singkil, kami segera mengumpulkan kelompok umat beragama dan sama-sama menyatakan menolak tindakan-tindakan seperti itu,” tandas Ali.
Pastor Paroki Lawe Desky, Aceh Tenggara, Pater Charles Lanang Ona, SVD mengakui bahwa pemerintah daerah Aceh Tenggara sungguh hadir melindungi hak-hak kaum minoritas sehingga umat Katolik merasa difasilitasi dan dibantu dalam menyelenggarakan berbagai kegiatan keagamaan. Bahkan, pemda, katanya selalu melibatkan Gereja Katolik dalam berbagai kegiatan-kegiatan pemerintahan.
“Kami juga menyampaikan terima kasih kepada pemda karena telah memberikan izin mendirikan bangun (IMB) untuk sembilan gedung gereja di Aceh Tenggara. Tentunya, kerja sama, komunikasi dan dialog dengan pemerintah daerah terus kita bangun demi Aceh Tenggara yang toleran, damai dan aman,” ungkap Pater Charles.
sumber : beritasatu.com