Penetapan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) diumumkan secara langsung oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam jumpa pers di Istana Merdeka. Kenaikan tersebut memicu gelombang resistensi dari sejumlah kalangan baik akademisi hingga pelaku usaha. Pengurus Pusat Pemuda Katolik bersama Katalis Institute menggelar webinar bertajuk “Dampak Sistemik Kenaikan BBM Bagi Daerah Kala Pandemi Belum Usai” sebagai media diskursus kader dalam memahami gejolak dibalik kebijakan tersebut, Sabtu (10/9).
Ketua Umum Pengurus Pusat Pemuda Katolik Stefanus Asat gusma menyampaikan bahwa diskusi ini menjadi ajang untuk memperkaya perspektif kader terkait isu kenaikan BBM. Gusma menjelaskan bahwa pada dasarnya setiap kebijakan memerlukan respon yang bijak sehingga menghadirkan diskursus yang arif. “Menurut saya diskusi seperti ini baik untuk pengayaan pengetahuan kader kedepannya”, kata gusma.
Turut hadir dalam webinar ini Zulfikar Hamonangan dari Komisi VII DPR RI Fraksi Demokrat, Bhima Yudhistira dari CELIOS, dan Azas Tigor Nainggolan selaku pengamat kebijakan transportasi Publlik. Hadir pula dalam diskusi ini Walikota Semarang Hendrar Prihadi dan Walikota Meda Bobby Nasution.
Zulfikar berpendapat bahwa belum saatnya Pemerintah menaikkan harga BBM, sebab kenaikan BBM bukan persoalan yang utama di masa pemulihan pandemi. Menurut Zulfikar, selama ini pertamina dahulu yang dibebani persoalan subsidi, baru pertamina membuat invoice kepada pemerintah. “Masalahnya, selama ini pembayaaan ke pertamina tersendat. Masih ada beban lain yang semestinya dikurangi”, kata Zulfikar.
Bhima Yudhistira menyampaikan pandangan yang senada dimana menurutnya kebijakan jangan hanya memperhatikan masyarakat miskin saja, perlu juga memperhatikan kelompok masyrakat yang berada pada golongan pendapatan menengah. “Masyarakat juga lebih memilih subsidi dalam bentuk barang, kalau diberikan dalam bentuk tunai, semestinya subsidi diberikan juga kepada kelompok yang rentan. Solusinya adalah perlu ada pelebaran definisi soal siapa yang berhak dan yang tidak berhak”, kata Bhima. Bhima juga berpendapat bahwa naiknya harga bbm akan mendorong naiknya harga barang yang lebih tinggi di level konsumen, karena sebagian besar kebutuhan masyarakat masih berasal dari impor.
Sementara Wali Kota semarang menegaskan subsidi bbm secara terbuka berpotensi mendorong terjadinya trickle down effect dan penggunaan bbm bersubsidi dengan tak terkontrol berpotensi meningkatkan beban APBN. Pemkot Semarang mendukung semangat pemerintah untuk mewujudkan subsidi tepat sasaran.
Senada dengan Hendrar Prihadi, Boby Nasution mengatakan, pemerintah menyadari, bahwa keputusan menaikkan harga BBM ini penuh dengan risiko. Ibarat buah simalakama, kenaikan harga BBM ini terpaksa dilakukan agar beban subsidi tidak semakin membengkak walaupun langkah ini sangat tidak populer.
“Harapannya, kenaikan harga BBM ini bisa disikapi dengan bijaksana oleh kita semua agar program pembangunan bisa terus berjalan tanpa membuat beban
yang terlalu berat bagi pemerintah,” ujarnya.
Sebagai penutup, Azas Tigor Nainggolan juga menyampaikan bahwa argumentasi tentang kenaikan BBM harus dipertanyakan lagi sebab alasannya tidak masuk akal. Apakah betul BLT bisa menyelesaikan masalah yang akan dihadapi masyarakat miskin ? “Kenaikan BBM juga akan mempengaruhi kenaikan biaya distribusi, misalnya distribusi gas molen. Kebijakan ini tidak implementatif dan melindungi korupsi oleh pejabat. Harusnya kebijakan mengendalikan pemborosan, mengendalikan masyarakat agar mau menggunakan transprtasi umum. Pemda harus menyediakan transportasi umum yang berkualitas” tegas Tigor.*