Pemudakatolik.or.id, Papua – Peran perempuan dalam pembangunan bangsa tidak lagi dipandang sepeleh saat ini.
“Perempuan harus berani keluar dari lingkungan yang mengekang kreativitas dan keterlibatan mereka di tengah bangsa. Mereka berhak merdeka dan berkontribusi bangun bangsa sebagai warga negara,” ungkap Ketua Bidang Perempuan dan Anak Pengurus Pusat Pemuda Katolik, Alfonsa Jumkon Wayap merefleksikan hari jadi Pahlawan Nasional R.A. Kartini, 21 April 2023.
Ia menerangkan bahwa perempuan Indonesia dituntut untuk lebih peka dan peduli terhadap setiap detik perkembangan zaman, sehingga siap untuk memberikan solusi dan kontribusi terbaik bagi bangsa Indonesia.
Kepekaan ini sebutnya lagi, harus lebih menonjol dalam perannya sebagai pribadi, ibu, istri, dan warga negara. Perempuan harus peka terhadap berbagai persoalan bangsa khususnya yang berkaitan dengan isu gender.
Melalui pesannya, Alfonsa menegaskan, R.A. Kartini sebagai salah satu perempuan yang pernah ada dimasanya cukup memberikan inspirasi bagi perempuan demi kemajuan bangsa Indonesia.
“Perempuan zaman ini merupakan perempuan generasi Kartini yang ikut melanjutkan semangat Kartini. Dengan kondisi tahun ini dan mendatang (2024) merupakan tahun politik. Diharapkan perempuan dapat terlibat mengambil bagian dalam partai politik.
Perempuan yang ada dan memantapkan diri sebagai peserta Pemilu mendatang sebaiknya mempersiapkan diri dengan strategi politik yang baik, supaya perempuan tidak hanya dapat mengisi ruang-ruang politik tetapi memberi warna tersendiri lewat kehadiran mereka.
“Mereka harus cerdas, memiliki visi pembangunan bangsa yang kuat, tegas dalam prinsip, cekatan membuat kebijakan pro rakya keci dan peka pada isu gender, serta penuh cinta sebagai ibu dan istri dalam merawat keluarga,” kata Alfonsa.
Alfonsa berharap kini saatnya bagi perempuan untuk terlibat dalam politik. “Kita harus mendukung semakin banyak perempuan agar ikut berpartisipasi dalam menentukan kebijakan di parlemen,” sebutnya sambil berharap, “Perempuan yang terpilih mengisi kursi parlemen harus membawa isu-isu gender dalam setiap kebijakan.”
Sebab, kata Alfonsa, demokrasi yang bermakna adalah demokrasi yang memperhatikan dan memperjuangkan kepentingan mayoritas penduduk Indonesia yang terdiri dari perempuan.
Dalam situasi politik formal, perempuan tidak boleh mengalami marjinalisasi dan pengucilan. Untuk itu, diperlukan berbagai upaya untuk memperjuangkan kesetaraan gender dalam kehidupan politik, yang nantinya diharapkan akan memberikan perubahan pandangan tentang budaya patriakhi bagi masyarakat, sehingga kemungkinan terpilihnya pemimpin politik perempuan akan sama dengan kemungkinan terpilihnya pemimpin politik laki-laki.
Dengan demikian, anggapan bahwa perempuan tidak layak menjadi pemimpin oleh pendapat arus utama di tengah masyarakat, tidak menjadi halangan. “Dengan kehadiran mereka pelebelan perempuan sebagai ‘orang asing’ di politik bisa diminimalisir,” ungkap Alfonsa.