Opini | Oleh: Evy Puspitosari (Aktivis Perempuan, tinggal di Batam)
“Habis Gelap, Terbitlah Terang”, semua perempuan Indonesia tahu judul sebuah buku yang berisi kumpulan surat yang ditulis oleh Pahlawan Emansipasi Wanita, R. A. Kartini. Surat-surat yang ditulis karena keprihatinan atas marginalisasi kaum perempuan di jaman kolonial.
Perempuan Indonesia mengalami banyak ketidakadilan di banyak aspek kehidupan. Diskriminasi terhadap perempuan juga dialami karena budaya dan tradisi patriarki yang cenderung melihat perempuan sebagai kaum nomor dua, kaum yang lemah, yang tidak diberikan hak-haknya seperti yang didapat oleh kaum laki-laki.
Perempuan sering dianggap hanya sebagai “konco wingking” (Jawa: teman pelengkap yang posisinya di belakang), meskipun apa yang dilakukan, dipikirkan dan dikatakan sangat mempengaruhi suami dan keluarganya.
R.A. Kartini adalah sosok perempuan yang sangat berjasa dalam perkembangan pendidikan dan hak kemandirian kaum perempuan di Indonesia.
Kontribusi R.A. Kartini terasa sampai saat ini. Kesadaran akan emansipasi wanita semakin hari semakin mendapat perhatian di tengah masyarakat. Banyak tokoh perempuan yang dengan segala kualitasnya dipercaya di pemerintahan baik di legislatif, eksekutif, yudikatif, di perusahaan, organsasi dll, hal ini menunjukkan bahwa perempuan juga bisa ambil bagian dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan gender.
Pada era demokrasi dewasa ini, pemerintah sudah memberikan ruang yang luas bagi perempuan untuk menjadi pemimpin di pelbagai posisi dalam pengambilan keputusan, baik di pemerintahan dan kemasyarakatan. Namun aksesibilitas ini belum dimanfaatkan secara maksimal, karena kendala psikologi, budaya dan politik yang menghambat kiprah perempuan.
Pertanyaannya kemudian adalah, mengapa penting perempuan berperan di pelbagai sektor? Pertama, karena perempuan lebih mengerti tentang “kepentingan perempuan” yang sering menjadi objek berbagai kepentingan, tindak kekerasan, pelecehan dan lain sebagainya.
Kedua, karena perempuan pembuat perbedaan, terutama keputusan-keputusan atau pertimbangan-pertimbangan yang membutuhkan pertimbangan-pertimbangan yang mendalam terutama dari sisi feminitas. Ketiga, karena perempuan adalah sebagai “panutan”, yang bisa menginspirasi, memotivasi dan menyemangati perempuan lain.
Pada dimensi yang lain, di era digitalisasi ini, media online sangat berpengaruh terhadap pola pikir dan tindakan perempuan. Tidak sedikit keluarga terkena imbas dari sikap istri/ibu di media sosial. Perkembangan teknologi dan informasi harus diimbangi dengan kecerdasan dalam menggunakannya.
Perempuan harus menjadi agen literasi media, karena di bawah asuhannya generasi suatu bangsa dilahirkan. “Jika kamu mendidik satu laki-laki maka kamu mendidik satu orang, Namun jika kamu mendidik satu perempuan, maka kamu mendidik satu generasi,” Mohammad Hatta.
Melihat hal tersebut di atas, saya mengajak perempuan Indonesia agar memiliki kesadaran tinggi dalam menyaring segala bentuk informasi, tidak gampang termakan propaganda suatu ideologi lain di media sosial.
Justru di sisi lain, perempuan harus tangguh dalam memanfaatkan teknologi. Menjadikan teknologi sebagai sarana edukasi, peningkatan ekonomi, berbagi konten positif, dan berbagai bentuk lain upaya literasi media.
Saya juga mengajak kaum perempuan untuk meningkatkan partisipasi di pelbagai aspek kehidupan, dan terus mengembangkan potensi diri agar lebih berdedikasi bagi keluarga, bangsa dan negara.*