TIMESINDONESIA, SURABAYA – Rancangan Undang Undang (RUU) Pesantren dan Pendidikan Keagamaan yang rencananya akan segera disahkan menjadi UU hingga kini terus menimbulkan pro kontra. Komisariat Daerah Pemuda Katolik Jawa Timur, berharap RUU terbut ditunda pengesahannya, dan dikaji ulang.
Pembentukan RUU ini dinilai juga tidak sesuai dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan karena naskah akademik dibuat seolah-olah memasukan begitu saja materi aturan yang ada di Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2007 Tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan ke RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan.
“Ada baiknya DPR RI kembali mempertimbangkan untuk menunda pengesahan atau pembahasan RUU ini, dan lebih baik melakukan perbaikan di naskah akademiknya supaya lebih komprehensif, sehingga tidak terkesan bahwa pasal – pasal yang terkait dengan pendidikan keagamaan katolik ini sekedar dimasukkan atau ditempelkan,” ujar Ketua Pemuda Katolik Jawa Timur, Agatha Retnosari, di Surabaya, Sabtu (22/12/2018) malam.
RD Edi Laksito, mendukung usulan Pemuda Katolik Jawa Timur untuk menunda urusan tentang pendidikan keagamaan dari RUU.
“Cukup berbicara mengenai UU Pesantren saja, tetapi agenda selanjutnya baru berbicara mengenai pendidikan keagamaan yang lebih luas dari urusan pesantren dimana mencakup semua agama yang ada di Indonesia,” ujar Romo Edi.
Romo Edi juga menyarankan agar diskursus mengenai RUU ini dimatangkan terlebih sebelum disahkan menjadi Undang-Undang, karena menurutnya, sejak diberlakukan Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003, PP No 55 Tahun 2007, UU No 12 Tahun 2012, dan PP No 4 Tahun 2004 telah menempatkan domain pendidikan agama pada domain Departemen Agama.
“Sebenarnya aspek-aspek keagamaan itu di dalam Agama Katolik kewenangannya ada pada Hirarki Gereja sehingga tidak perlu ditempatkan di bawah Departemen Agama, dan akhirnya menimbulkan permasalahan, ” ujar Romo Edi.
Sementara itu, Pakar Pendidikan Anita Lie mengatakan, dalam pembuatan RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan, ada unsur kecerobohan di beberapa pasal.
“Membahas soal pendidikan, RUU itu masih tertulis konsep Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), padahal KTSP itu sudah diganti Kurikulum 13 (K13), kok RUU ini masih menggunakan KTSP, jadi saya melihat banyak kecerobohan. Kemudian juga anatomi dari pasal-pasal ini juga menimbulkan kesan tergesa-gesa, hanya copy paste dari produk hukum yang sebelumnya,” ujar Anita.
Anita menyarankan untuk melibatkan semua elemen pendidikan bangsa dalam diskusi merumuskan RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan.
Sekedar informasi, sebelumnya Pemuda Katolik Jawa Timur telah mengadakan Forum Grup Discusion (FGD) pada 3 November 2018, di Aula Komplek Wisma Hati Kudus Yesus Keuskupan Surabaya tentang RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan.
Dari itu, Pemuda Katolik Jawa Timur menilai pembentuk atau pengusul RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan tidak memahami tentang kekhasan Gereja Katolik terkhusus mengenai bentuk-bentuk peribadatan dalam ajaran Gereja Katolik, dan masih banyak hal lagi yang perlu dipertimbangkan kembali sebelum disahkan menjadi undang undang. (*)
Sumber : timesindonesia