JAYAPURA- Penimbunan Hutan Mangrove yang terjadi di Hutan Perempuan, Kawasan Konservasi Teluk Youtefa, Hamadi, Distrik Jayapura Selatan, Kota Jayapura, Papua, Selasa,11/07-2023. Hal itu menuai protes dari berbagai pihak diantarnya Ketua Gugus Tugas Papua PP Pemuda Katolik, Melkior Sitokdana dan Ketua Bidang Perempuan dan Anak Pengurus Pusat, Alfonsa Jumkon Wayap kepada media ini, Rabu,12 Juli 2023.
Dari catatan keduanya mengenai penimbunan di Kawasan Hutan Konservasi Teluk Yotefa sebelumnya pernah terjadi pada 31 Mei 2023 lalu. Penimbunan itu kemudian mendapat kritik dari Permepuan Adat Port Numbay.
Aktivitas serupa kembali terjadi, pada Selasa,11/07-2023, dalam waktu sekejap sekitar dua hektare luasan hutan mangrove beralih fungsi akibat material berupa karang.
Melkior Sitokdana kepada media ini mengaku sangat menyayangkan, pasalnya,”Hutan Mangrove merupakan kawasn hutan konservasi yang di lindungi melalui Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, seharusnya menjadi dasar, sehingga orang tidak sewenang-wenang melakukan aktivitas dan kegiatan di lokasi wisata konservasi yang jelas-jelas dilindungi secara undang-undang,” tegasnya.
Yang lebih mengherankan lagi adanya sertifikat yang dikeluarkan dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Jayapura, jelas-jelas lokasi itu berada di atas hutan konservasi. Tida hanya itu kata Melkior,” Ada dugaan keterlibatan berbagai pihak. Maka, kami minta agar pihak penegak hukum dalam hal ini Kepolisian Polda Papua segera melakukan penyelidikan lebih lanjut hingga mengungkap siapa dibalik pengalihfungsian lokasi hutan lindung mangrove tersebut?,”terangnya.
Menilik keberadaan hutan mangrove terlepas dari hutan lindung. Menurut Alfonsa,” Hutan itu sudah ada sejak turun-temurun nenek moyang warga Enjros-Tobati dan kampung-kampung lain di sekitarnya. Hutan ini secara sosial berpengaruh terhadap warga di sekitar itu serta menyangkut identitas yang erat kaitannya dengan ekosistem di laut,” ujarnya.
Jika sistem itu dirusak, otomatis mata pecaharian warga terganggu. Itu yang dikeluhkan perempuan yang mencari kerang. Hasil tangkapannya berkurang. Jumlah penangkapan yang dihasilkan menurun drastis dan otomatis mempengaruhi pendapatan mereka.
Alfonsa menilai terkait kebijakan pengelolaan di pesisir mangrove, menurutnya, belum dan bahkan tidak mendapat perhatian prioritas dan juga belum dipahami secara baik oleh semua pihak mengenai manfaat dan kegunaan nilai ekosistem mangrove. Manfaat tidak langsung dari hutan mangrove adalah kawasan mangrove menjadi rumah ikan, kepiting, kerang dan udang. Itu keberadaan biota bisa sampai beberapa generasi mendatang.
“Sekarang menjadi pekerjaan rumah kita semua untuk memperbaiki. Masih bisa kita perbaiki, penanaman kembali mangrove, dengan catatan yang telah ditanami tidak boleh dirusak. Seharusnya hal ini tidak terjadi, tegas Alfonsa.”
Mewakili Pengurus Pusat Pemuda Katolik keduanya memberikan apresiasi kepada semua pihak. Dalam hal ini Dinas Kehutanan Provinsi Papua, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua, Polda Papua, Masyarakat Adat Port Numbay, aktivis lingkungan dan peran serta media massa.
“Kami berharap pemerintah daerah dan semua pihak tegas untuk melindungi hutan mangrove yang ada di Jayapura. Apalagi hutan mangrove ini adalah salah satu sumber kehidupan bagi masyarakat adat Port Numbay yang mendiami wilayah sekitarnya. Dan ini juga merupakan satu-satunya hutan mangrove yang hari ini ada di wilayah ibu kota Provinsi Papua.”