Thursday, September 19, 2024

Mahasiswa dan Tritura Jilid II

Must Read

Friederich Batari, newOleh Friederich Batari **)

 

TULISAN mantan Wakil Presiden RI Profesor Boediono dengan judul “Indonesia di Mata Lee Kuan Yew”, (Kompas, 21/5/2015), perlu direnungkan sebagai sebuah pekerjaan rumah kita sebagai bangsa. Dalam tulisan tersebut, Profesor Boediono mengutip pandangan Lee Kuan Yew, pendiri sekaligus mantan Perdana Menteri Singapura, sebagai berikut:

“Satu dasa warsa terakhir ini kinerja Indonesia lumayan, ekonominya secara konsisten tumbuh antara 4 dan 6 persen. Krisis keuangan global tidak banyak memengaruhi kinerjanya. Investasi dalam jumlah besar dari Tiongkok dan Jepang masuk, tertarik oleh adanya sumber alam yang melimpah. Namun, dalam 10 sampai 30 tahun mendatang, saya tidak melihat negeri ini akan mengalami perubahan besar. Malaysia barangkali akan maju lebih cepat karena secara geografis negara ini lebih menyatu, sistem transportasinya lebih baik, dan angkatan kerjanya lebih mempunyai motivasi.

Meskipun mengalami kemajuan, ekonomi Indonesia masih mengandalkan pada sumber daya alam dan peduduknya masih menggantungkan pada apa yang diberikan alam dan bukan pada apa yang dapat mereka ciptakan dengan kedua tangan mereka. Melimpahnya sumber alam cenderung membuat orang malas: ‘Ini tanah saya. Anda menginginkan yang terkandung di dalamnya? Bayar saya.’ Pandangan seperti itu akan menumbuhkan sikap hidup dan budaya santai, yang nantinya sulit untuk dihilangkan.”

Saya melihat, pandangan Lee Kuan Yew itu merupakan tantangan bersama untuk segera dijawab melalui kerja nyata, utamanya oleh Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla beserta jajaran kabinetnya sehingga perubahan besar dapat terwujud. Tantangan tersebut memang tidak hanya menjadi tugas eksekutif, tetapi juga legislatif dan yudikatif mulai dari pusat hingga daerah, termasuk mahasiwa dan pemuda, dan masyarakat sipil dan kaum cindikiawan.

Pertanyaannya adalah perubahan besar seperti apa dan bagaimana perubahan itu diwujudkan. Syarat pertama untuk melakukan perubahan besar adalah adanya kesadaran bersama seluruh elemen bangsa untuk mengidentifikasi mana masalah pokok dan mana masalah ikutannya, berikut melakukan konsolidasi kekuatan serta memulai usaha kerja nyata dalam semangat dan ritme bersama mengatasi keadaan. Jika ini bisa dilakukan maka keinginan untuk mewujudkan perubahan besar adalah sebuah keniscayaan.

Sebagai salah satu aktifis pergerakan mahasiswa, yang pernah aktif di PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia) bersama aktifis dari organisasi mahasiswa lainnya, juga terpanggil untuk ikut berkontribusi dengan mengambil langkah nyata dalam usaha mewujudkan cita-cita dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

 

Qua Vadis, Nawacita?

Nawacita, atau sembilan program prioritas yang dicanangkan Jokowi dan Jusuf Kalla pada kampanye Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, 2014, secara kasat mata, belum menunjukkan hasilnya. Sejak awal, Jokowi-Jusuf Kalla dalam membentuk kabinetnya (Kabinet Kerja), dikesankan publik bahwa kepentingan politik pragmatis lebih dominan ketimbang memilih figur menteri yang mumpuni, yang menjadi ujung tombak dalam menerjemahkan dan melaksanakan visi, misi dan programnya melalui kerja-kerja nyata di kementerian/lembaga. Ini menjadi salah satu tantangan awal yang dihadapi pemerintahan Jokowi-JK. Tantangan berikutnya, terkait mekanisme kerja dan pola komunikasi dari Presiden Jokowi, Wapres Jusuf Kalla bersama jajaran kabinet.

Salah satu contoh, komunikasi yang kurang lazim dari seorang Presiden adalah terkait Peraturan Presiden (Perppres) Nomor 39 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 68 Tahun 2010 tentang Pemberian Fasilitas Uang Muka bagi Pejabat Negara pada Lembaga Negara untuk Pembelian Kendaraan Perorangan. Perppres tersebut memang telah dicabut. Namun untuk menarik dicermati mengenai pernyataan Presiden Jokowi yang merasa tidak membaca isi Pesppres tersebut saat ditandatangani.

Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana mungkin seorang Presiden menerbitkan kebijakan tanpa mengetahui isi kebijakan tersebut? Pernyataan Presiden Jokowi tentu menuai reaksi sejumlah kalangan. Pernyataan Presiden Jokowi telah secara nyata memperlihatkan lemahnya sistem dan prosedur kerja administrasi serta komunikasi di lingkungan Kantor Kepresidenan.

Padahal, semua orang tahu bahwa sebelum sebuah kebijakan ditetapkan, mesti telah melewati proses pembahasan yang panjang dengan melibatkan lintas kementerian dan lembaga, bahkan telah dikonsultasikan terlebih dahulu kepada Presiden. Namun, dengan pertimbangan ‘pencitraan’, semua proses panjang tersebut diabaikan atau seakan-akan tidak berjalan.

Perseteruan antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri), juga menjadi salah satu aspek yang turut memperlambat tercapainya Program Nawa Cita Jokowi-JK, khususnya di bidang penegakan hukum.

Selain bidang hukum, sebagian besar kalangan mengkhawatirkan kinerja pemeritahan Jokowi-JK dalam bidang ekonomi. Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, pelambatan pertumbuhan ekonomi bahkan berada dibawah 5 persen pada kuartal pertama, 2015, beban rakyat meningkat akibat kelangkaan beras, kenaikan harga gas elpiji, kenaikan tarif dasar listrik (TDL) dan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, yang memicu naiknya harga-harga kebutuhan pokok masyarakat, adalah persoalan cukup serius. Maka, tak heran muncul pandangan yang meminta Presiden Jokowi untuk merombak jajaran kabinet di bidang ekonomi.

Dalam posisi ini, saya belum melihat perombakan kabinet (reshuffle) sebagai solusi efektif untuk mengatasi keadaan ekonomi yang mengalami pelambatan saat ini. Wacana reshuffle kabinet hendaknya dilihat sebagai bentuk ketidakpuasan publik terhadap kinerja kabinet. Karena itu, wacana reshuffle harus dijawab oleh Presiden Jokowi untuk melakukan konsolidasi di jajaran kabinet guna menjawab ekspektasi publik melalui kerja-kerja nyata.

 

Gerakan Mahasiswa

Mahasiswa dalam sejarah pergerakannya, harus diakui telah menjadi kekuatan pembaharu atau perubahan. Di awal abad ke-21, misalnya, era Kebangkitan Nasional 1908, disusul Sumpah Pemuda 1928, Era Kemerdekaan 1945, Era Orde Baru 1966 dan Era Reformasi 1998 adalah contoh nyata kontribusi mahasiswa sebagai kekuatan perubahan.

Melihat keadaan saat ini, seluruh kekuatan mahasiswa diajak untuk ikut berkontribusi agar semangat dan cita-cita luhur perjuangan reformasi tetap pada rel yang benar.

Presiden Jokowi tentu tahu akan besarnya kekuatan mahasiswa. Tak heran, Presiden Jokowi mengundang badan eksekutif mahasiswa (BEM) dan organisasi kemasyarakatan pemuda (OKP) di Istana Negara, 19 Mei 2015, dengan menghasilkan lima kesepakatan, antara lain kesediaan Presiden Jokowi untuk membenahi segala sistem. Presiden Jokowi juga berkomitmen untuk menuntaskan persoalan ekonomi dengan mengintervensi harga bahan pokok yang berimplikasi langsung pada daya beli masyarakat kecil.

Apalagi yang dilakukan Presiden Jokowi, hampir sama yang dilakukan Presiden Soekarno, 1966. Soekarno mengundang pimpinan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) Pusat, KAMI Jakarta Raya, dan KAMI UI ke Istana Merdeka, 18 Januari 1966.

Waktu itu, Cosmas Batubara sebagai salah satu Presidium KAMI Pusat tampil membacakan tuntutan mahasiswa, yang dikenal Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat), yakni Turunkan Harga; Reshuffle Kabinet Dwikora; dan Bubarkan PKI.

Dalam buku “Cosmas Batubara, Sebuah Otobiografi Politik” diterbitkan oleh penerbit buku Kompas, Maret 2007, Tritura disusun dan dirumuskan di Margasiswa I – Kantor Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) di Jalan Sam Ratulangi No.1 Menteng, Jakarta Pusat sekaligus dijadikan Kantor Sekretariat KAMI Pusat.

Pertanyaannya, akankah mahasiswa kembali mencatat sejarah dengan mengajukan Tritura Jilid II (minus Pembubaran PKI)? Saya melihat, situasi dan kinerja ekonomi saat ini, tampaknya menjadi alasan yang kuat bagi mahasiswa untuk menyerukan kembali tuntutan (Tritura) Jilid II.

Pertumbuhan ekonomi yang mengalami penurunan dibawah 5 persen pada kuartal pertama 2015, ditambah lagi kenaikan harga-harga seperti sembako (beras), tarif dasar listik (TDL), gas, dan lain-lainnya bisa menjadi alasan yang kuat untuk menuntut penurunan harga. Selain itu, kinerja Kabinet Kerja di era kepemimpinan Presiden Widodo dan Wapres Jusuf Kalla, yang dianggap belum responsif menjawab persoalan ekonomi serta persoalan sosial dan politik saat ini juga bisa menjadi alasan bagi mahasiswa untuk menyerukan perlunya Reshufle Kabinet Kerja (Bukan Kabinet Dwikora).

Selanjutnya, meski Partai Komunis Indonesia (PKI) telah dibubarkan, namun kita masih menghadapi berbagai ancaman dalam bentuk yang lain, seperti bahaya narkoba, korupsi, radikalisme dan sejumlah hal yang berpotensi bisa mengancam keutuhan kita sebagai bangsa. Ini bisa mendorong lahirnya tuntutan ketiga. Karena itu, Tritura menjadi keniscayaan dan relevan untuk kembali disuarakan mulai hari ini.

Dan, PMKRI yang berulang tahun ke-68 pada 25 Mei 2015, mesti kembali aktif menorehkan sejarahnya seperti tahun 1966 untuk turut berkontribusi memajukan dan menata bangsa ini melalui Tritura Jilid II. Selamat berjuang!!!

 

*) **) Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat Pemuda Katolik

*) Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat Pemuda Katolik

**) Presidium Gerakan Kemasyarakatan Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PP PMKRI) Periode 2004-2006;

 

 

(Catatan: Artikel ini pernah dikirim ke Harian Kompas tanggal 25 Mei 2015)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

spot_img
Latest News

Pengurus Pemuda Katolik Komcab Konawe Kepulauan Resmi Dilantik, Yustinus Nong Roja Kembali Pimpin Komcab Konkep

Pemudakatolik.or.id, Konawe Kepulauan – Pengurus Pemuda Katolik  Komcab Konawe Kepulauan periode 2024-2027 resmi dilantik oleh Ketua pemuda Katolik Komisariat Daerah...
spot_img

More Articles Like This