Departemen Gugus Tugas Papua Pengurus Pusat Pemuda Katolik selenggarakan Webinar terkait rencana pemekaran wilayah di Papua Selatan, dengan mengangkat tema “Pemekaran DOB di Papua: Solusi atau Sumber Masalah Baru?”. Selasa, (22/02/2022).
Webinar ini diikuti 120 peserta kader Pemuda Katolik dari berbagai wilayah dan mengundang beberapa narasumber, yakni: Pastor Alexandro Rangga, OFM selaku SKPKC Fransiskan Papua, anggota DPRP Papua, John N. R. Gobay, mewakili Konferensi Wali gereja Indonesia Pastor Hans Jeharut dan Ketua Departemen Gugus Tugas Papua Pengurus Pusat Pemuda Katolik Melkior N.N. Sitokdana.
Dalam Webinar tersebut, Ketua Umum Pengurus Pusat Pemuda Katolik, Stefanus Asat Gusma dalam sambutannya mengatakan bahwa rencana pemekaran enam daerah administrasi di tanah Papua tentu harus berdampak dan dirasakan langsung oleh masyarakat Papua.
Rencana DOB ini, lanjut Gusma, Pasti ada pro dan kontra dengan rasionalisasi masing-masing baik dari segi latar bekalang, emosional, politik dan budaya, maka Gusma memberi catatan, jangan sampai DOB ini hanya kepentingan elit di Jakarta.
“Perlu mencari benang merah, mengapa sampai saat ini masih ada persoalan dengan perspektif keadilan dan pemerataan. Pemuda Katolik akan membangun sinergitas dengan pemerintah untuk menjawab persoalan keadilan dan pemerataan tersebut,” ujar Gusma.
Pemuda Katolik juga akan aktif menyerap aspirasi dan gagasan dari struktur dan kader yang ada di Tanah Papua. Keterlibatan mereka sangat dibutuhkan untuk belanja aspirasi dan belanja masalah. Dan secara pararel akan dijalankan juga program – program pemberdayaan kader dengan memaksimalkan seluruh potensi kader Pemuda Katolik yang ada di Papua.
“Tidak boleh politis! Ini kerja kolaborasi dengan optimisme tinggi” tegas Gusma.
Sementara itu, Pastor Alexandro Rangga, OFM selaku SKPKC Fransiskan Papua menegaskan bahwa DOB itu terlalu tergesa-gesa jika dilakukan tanpa menyelesaikan akar masalah yang ada di Papua.
Pastor Rangga juga mempertanyakan kemendesakan pemerintah untuk segera dilakukan Daerah Otonom Baru (DOB) di Papua. Menurut Pastor Rangga, syarat DOB adalah mendapat izin dari Majelis Rakyat Papua (MRP) dan DPR.
“Seperti ada unsur pemaksaan, sebab banyak sekali persoalan yang belum selesai di Papua,” ujarnya.
Pengalaman di beberapa tempat, lanjut Romo, sumber daya alam menjadi motif pemekaran. Di papua Pasar dan berbagai tempat umum masih didominasi oleh pendatang, DOB akan menjadi persoalan karena mobilisasi penduduk migran Papua menjadi masif. Layanan kesehatan dasar dan pendidikan sangat buruk misal gizi buruk yang pernah terjadi di Asmat.
“SKPPKC melihat bahwa pelayanan publik belum sampai ke masyarakat. Dalam penelitian yang dilakukan LIPI ada empat persoalan yang harus diperhatikan: kegagalan pembangunan, diskriminasi Papua, kekerasan dan pelanggaran HAM, serta sejarah dan status politik,” ujar imam Fransiskan ini dalam webinar tersebut.
Tidak berbeda jauh, anggota DPRP Papua, John N. R. Gobay juga melihat, tidak saja MRP yang menolak kehadiran DOB tapi juga DPR. DOB melupakan proses hearing di akar rumput yang tidak jalan. Ia melihat pemekaran ini bukan solusi tepat justru mendatangkan masalah baru di tempat baru.
Gobay setuju bahwa sebelum DOB terbentuk perlu menyelesaikan konflik yang masih terjadi di Papua. Meski pemerintah sudah membuat UU No. 2 tahun 2021 sebagai pengganti UU No. 21 tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi Provinsi Papua, tapi ada unsur ketergesaan di sini.
“Yang diperhatikan pemerintah itu hanya pembangunan. Padahal pembangunan itu bukan satu-satunya masalah. Ada masalah lain yang saling terkait, itu yang tidak pernah direspon secara terbuka,” tegas Gobay.
DPRP Papua dan MRP sepakat meminta pemerintah untuk memperbaiki regulasi sebelum melakukan pemekaran wilayah. Meskipun juga diakui oleh John Gobay bahwa sampai saat ini DPRP Papua atau MRP belum pernah ada rapat pleno membahas soal isu ini.
“Perlu diatur, misal politik konstitusional orang asli Papua, pengelolaan sumber daya alam, pendidikan, kesehatan, konflik-konflik internal termasuk masalah ekonomi sebelum melakukan DOB.” tegasnya.
Diskusi hangat yang dibangun lewat kritik dan saran mewarnai suasana diskusi.
Sebelumnya, Wakil Bupati Asmat Papua, Thomas Eppe Safanpo, mengatakan bahwa rencana pemekaran wilayah di Papua Selatan dilakukan atas masukan dari daerah-daerah, kabupaten, sampai dewan adat setempat. Bahwa warga yang dilayaninya mengatakan ingin pemekaran karena mereka membutuhkan akses yang lebih mudah terhadap pelayanan pemerintah.
Selama 20 tahun otonomi khusus, lanjut Thomas Eppe Safanpo, sudah lebih dari 97 triliun untuk pembangunan di Papua tetapi nyaris tidak berdampak. Hal ini karena luasnya wilayah Papua dengan geografis yang sulit. Luasnya wilayah dan lemahnya koordinasi di Papua membuat kontrol pemerintah sangat lemah.
Tidak mungkin satu wilayah yang luasnya hampir sama satu negara menjadi tanggung jawab gubernur atau bupati saja. Wajar kalau daerah-daerah menuntut adanya pemekaran sebagai solusi ketidakefisien dan keterlambatan di Papua,” sebut Safanpo yang juga sebagai Ketua Tim Pemekaran Papua Selatan.